Post sebelumnya: Penghujung 2014
Bismillaahirrohmaanirrohiim...
Angin dingin behembus dengan kencang, membawa gemuruh di setiap
nafasnya. Sang fajar tak mau kalah, datang dengan bilangan empat digit di bawah
nol derajat. Kira-kira beginilah gambaran cuaca di ibu kota negara mata hari
terbit pada awal tahun 2015 ini. Udara dingin dingin yang selalu mencekam tiap
hari, sampai-sampai membuat bulu kuduk berdiri bila tidak menyalakan penghangat
ruangan.
Liburan musim dingin baru saja berlalu, dan sebagian besar aku
habiskan di tanah air. Apa?! Tanah air? Yaaa... begitulah. Aku yang ketika awal
datang ke Jepang bersikukuh untuk tidak pulang pada tahun pertama, tanpa diduga-duga akhirnya memutuskan
untuk pulang juga... Apa dikata, ternyata rasa rindu pada si kecil (baca:
sepupu) tidak mampu untuk kubendung lagi. Sungguh, alasan yang benar-benar
tidak diduga.
☆☆☆
Hahaha, udah ah, capek nulis paragraf pengantarnya pakai kalimat yang gaya bahasanya ala novel picisan
(walaupun masih berantakan XD). Jadi, sehari setelah libur musim dingin
dimulai, aku dan sahabatku, Lia, pulang bersama ke Indonesia. Karena naik
pesawat pukul satu dini hari, aku san Lia harus berjuang untuk membawa koper
dan barang bawaan lainnya di tengah udara dingin bersuhu kurang dari sepuluh
derajat celcius menuju bandara. Malam sekitar pukul setengah delapan,
perjalanan kami dimulai. Kami berjalan menuju stasiun terdekat, menaiki kereta commuter, lalu ganti kereta sekitar tiga
kali, naik-turun stasiun dengan menggunakan elevator (karena membawa koper yang ‘cukup’
berat), dan terakhir, menaiki monorail yang langsung terhubung dengan bandara
internasional kedua di Tokyo, bandara Haneda. Dinginnya malam dan perjuangan
menuju bandara kalah oleh kerinduan kami akan keluarga tercinta di tanah air.
Pikiran hanya terpusat pada satu tujuan: rumah. ‘Sayangnya’, ketika aku sampai
di Indonesia pada pukul tujuh keesokan harinya, aku tidak bisa langsung pulang
ke kota kelahiranku, Bandung. Aku harus terlebih dahulu singgah beberapa hari
di Bogor. Perkiraanku mengenai keefektifan waktu, ditambah lagi aku yang tidak
dijemput kedatangannya oleh kedua orang tuaku yang tidak bisa meninggalkan
kerjaan, mengharuskanku untuk melanjutkan perjalanan sendiri ke Bogor. Setelah
menempuh hanya sekitar dua jam perjalanan
dengan menaiki bus Damri dari Bandara Internasional
Soekarno-Hatta, aku sampai di depan Botani
Square. Padahal ‘baru’ sekitar sembilan bulan aku pergi meninggalkan kota
hujan ini, tapi rasanya aku lupa-lupa ingat mengenai angkot mana yang harus aku
tumpangi untuk menuju IPB Darmaga. Ya, aku akan menginap di tempat
teman-temanku yang merupakan mahasiswi IPB.
Bogor ternyata masih tetap sama. Masih dengan angkot-angkotnya yang
tumpah ruang di jalanan dan ‘hangat’-nya yang menyengat. Mungkin yang berbeda
adalah, teman-temanku di IPB yang terus tumbuh, yang sekarang sudah menginjak
tingkat dua.
Singkat cerita, empat hari aku habiskan di sana untuk berjumpa
kerabat, bernostalgia, dan... memastikan perasaan (lho?!). Selama di sana, tiga
hari berturut-turut aku menginap di tempat yang berbeda. Dan... sejujurnya hal
itu memberikan dampak yang luar biasa bagiku. Aku ikut menginap di tempat
orang-orang yang kupercaya, dan aku rasa aku mendapatkan berbagai pelajaran
berharga dari pengalaman ini. Entah itu pembelajaran dari teman-temanku sendiri, atau bahkan dari lingkungan tempat tinggal mereka. Membuatku jadi berpikir akan berbagai hal, yang sayangnya tidak
bisa aku ceritakan di sini. Satu hal yang pasti, aku sangat sangat bersyukur
mendapat kesempatan seperti ini oleh Allah, dan aku juga sangat berterima kasih
kepada mereka. ‘Pulang’ kembali ke Bogor juga membuatku merasa, ternyata masih
ada orang-orang yang mengingatku, bahawa aku pernah jadi bagian dari mereka dan menjalani kehidupan bersama, juga membuatku kembali
mencicipi hempasan bayangan dari masa lalu. Yang jelas, apa yang terefleksikan
saat itu sangat berharga bagi diriku ke depannya, insya Allah :)
Empat hari yang singkat, sangat mengesankan namun juga memilukan
(karena aku juga sudah membuat tangisan kepada salah seorang sahabat baikku.
Maaf yaaa, insya Allah ketika aku pulang nanti kita harus berlama-lama ketemu! (T_T)), aku ‘akhirnya’ dijemput juga oleh
kedua orang tua tercinta. Tujuan selanjutnya yang sudah lama ditunggu-tunggu: Bandung! Aku dan kedua orang tuaku sama sekali tidak memberitahukan
perihal kepulanganku ini
kepada keluarga juga sepupu, ingin membuat surprise ceritanya :) Malam itu, ketika aku sampai di rumah embah,
kebetulan anggota keluarga lainnya juga sedang berkumpul. Dan pasti
terbayangnya kan apa yang terjadi selanjutnya? Ya, gegaduhan muncul ketika aku
datang. Alhamdulillah anggota keluarga senantiasa sehat walafiat, terutama
sepuh yang paling ingin aku temui, embah putri :) Aku pun keesokan harinya
menemui orang
yang membuatku ‘terpaksa’ menggoyahkan keyakinan awal lalu kembali ke
Indonesia. Dialah si “pecepam”, sepupu kecilku. Walaupun sikapnya padaku masih dingin karena ‘belum’ kenal,
tapi setelah melakukan pendekatan selama tiga hari, akhirnya aku
berhasil dekat dengannya
(^o^)
Alhamdulillah kepulangan pertamaku ke tanah air setelah menimba ilmu beberapa bulan di Jepang meninggalkan kesan yang sangat
membahagiakan. Bisa kembali bertemu dengan keluarga, teman dekat, guru-guru
SMA, dan beberapa adik kelas. Mohon maaf bagi teman-teman yang belum bisa
bertemu, atau bahkan yang tidak aku beri tahu mengenai kepulanganku. Sebab aku berada di Bandung juga tidak lama, dan
ketika itu sepertinya bertepatan dengan kalian yang sedang persiapan menjelang
UAS. Sampai saat ini aku datang dan pergi ketika kalian menjelang atau sedang
ujian :( Semoga di waktu yang akan datang, kita diberikan keluangan waktu
sehingga dapat bertemu :)
Hari demi hari berlalu, dan
tidak terasa waktu liburanku di Indonesia telah usai.
Aku harus lekas kembali ke Jepang. Ibu sempat menangis ketika
mengantarku ke bandara. Tentu saja, karena tidak akan pernah ada kata cukup
untuk bertemu dan menghabiskan waktu dengan orang-orang tercinta. Kondisi cuaca
yang beberapa hari itu sedang tidak baik semakin menambah rasa kekhawatiran dan
berat hati bagi keluarga untuk melepasku. Begitu pula dengan aku yang harus
berpisah kembali dengan mereka. Apalagi aku juga merasa telah meninggalkan sepotong
hati yang ternyata masih belum bisa ‘diselesaikan’. Dengan menghempaskan
berbagai perasaan itu dalam-dalam, aku dan Lia pun kembali ke Tokyo.
Ternyata
ada sisi positif dan negatif dari
menghabiskan liburan di tanah air. Di satu sisi, tentu senang bukan main dapat
bertemu kembali lagi dengan orang-orang tercinta. Tapi di satu sisi... harus
kembali menanggung sedih ketika berpisah dengan mereka. Yang paling
‘mengenaskan’, adalah ketika aku sudah sampai di kamar asrama. Sebuah gejala
yang benar-benar baru pertama kali aku rasakan sejak menginjakan kaki kembali
di negeri samurai: homesick. Baru
kali ini aku merasakan sepi yang begitu menusuk, kekosongan yang begitu menghujam *alah. Aku harus menghadapi kesendirian lagi
di kamar asrama. Ketika kehangatan keluarga sudah lenyap dan
diganti dengan dinginnya udara awal tahun. Bahkan pengalaman pertamaku melihat indahnya salju yang turun tidak kunjung membuat hatiku sepenuhnya tenang. Jeda selama tiga hari di kamar sebelum masuk mulai ajaran baru
tenyata cukup menyiksa batinku.
Tapi apa mau dikata. Teman-teman di sini yang lain pun pasti juga
begitu. Apalagi Lia, yang
sama-sama baru juga pulang ke
tanah air denganku.
Walaupun kondisi saat itu (bahkan sampai sekarang sih sebenarnya
hehe) bisa aku anggap mengenaskan, tapi di satu sisi yang lain ada setitik cahaya yang muncul manakala aku berpikir tentang resolusi di tahun baru ini.
Sejak kepulanganku ke Indonesia, aku membuat beberapa rencana baru yang insya Allah aku usahakan untuk mencapainya.
Alhamdulillah sepertinya kepulanganku yang pertama ini lebih banyak membawa
banyak pelajaran dan manfaat bagiku pribadi.
Salah satunya, dulu aku sempat menulis sedang move on tentang
sesuatu, dan saat itu aku yakin benar bahwa aku telah berhasil melakukannya.
Tapi ternyata salah. Karena
mungkin caraku juga salah. Jadi benar
kata salah seorang novelis yang aku suka, Bang
Tere Liye (hehe), dan kata salah seorang adik kelasku, bahwa semakin kita memaksakan untuk melupakan sesuatu, maka
semakin sering pula kita akan
mengingatnya. Kini, solusi dari masalahku adalah dengan menerimanya. Mungkin tidak akan lantas membuat jadi lupa (ga mungkin pernah
bisa lupa malah), tapi dengan menerima, mengikhlaskan, dan yang
paling penting adalah jujur kepada
diri sendiri bahwa kita belum bisa move on, maka diri ini menjadi tenang dan
positif, insya Allah. Aku yakin, memang semua kejadian itu ada pastilah untuk
mendewasakan diri ini :)
Wah ini bahasannya jadi kemana-mana yah hahaha. Kalau begitu, terakhir
aku ingin bahas mengenai nasib akademik masa depanku. Minggu pertama masuk lagi
ke sekolah, kami dihadapkan pada tugas akhir berupa short essay (ini bukan skripsi alias T.A. lho ya). Bahkan bagi
anak-anak IPS tidak hanya itu. Ada pula tugas laporan lainnya pada mata pelajaran
ekonomi-politik (lagi-lagi
matpel ini (-__-)”).
Tapi kabar lainnya, keputusan mengenai hasil universitas sudah ada! Dari
pihak monbusho, alhamdulillah aku sudah ditetapkan untuk mengikuti tes ujian
masuk ke univ pilihan pertamaku. Tapi berhubung univ pilihan pertamaku mulai
tahun ini tidak akan mengadakan lagi ujian masuk bagi mahasiswa asing, jadi
kami hanya perlu
untuk mengumpulkan satu lembar formulir saja. Walau
begitu, bukan berarti aku sudah benar-benar diterima di univ ini lho. Masih ada penguman akhirnya pada tanggal 12 Februari mendatang.
Semuanya, mohon doanya ya...!
Bismillaahirrohmaanirrohiim, hasil keputusan univ, resolusi baru, short
essay +
presentasinya, semoga berjalan dengan lancar
sesuai harapan, aamiin!!!
Oh iyaaa, satu lagi! Kouhai (adik kelas) yang mulai April 2015 ini
akan belajar di tempatku sekarang (TUFS) hanya ada duaaa! Hmmmm, nanti
bakal ada penyambutan ga ya dari para senpai (kakak kelas) yang jumlahnya bejibun ini?? Hehe lihat saja nanti ya
kalau begitu, setelah para senpai sudah selesai mengurus univ mereka :D
GANBAROU~ \(>_<)/