Kamis, 08 Januari 2015

2015: New Beginning



Post sebelumnya: Penghujung 2014
Bismillaahirrohmaanirrohiim...

Angin dingin behembus dengan kencang, membawa gemuruh di setiap nafasnya. Sang fajar tak mau kalah, datang dengan bilangan empat digit di bawah nol derajat. Kira-kira beginilah gambaran cuaca di ibu kota negara mata hari terbit pada awal tahun 2015 ini. Udara dingin dingin yang selalu mencekam tiap hari, sampai-sampai membuat bulu kuduk berdiri bila tidak menyalakan penghangat ruangan.

Liburan musim dingin baru saja berlalu, dan sebagian besar aku habiskan di tanah air. Apa?! Tanah air? Yaaa... begitulah. Aku yang ketika awal datang ke Jepang bersikukuh untuk tidak pulang pada tahun pertama,  tanpa diduga-duga akhirnya memutuskan untuk pulang juga... Apa dikata, ternyata rasa rindu pada si kecil (baca: sepupu) tidak mampu untuk kubendung lagi. Sungguh, alasan yang benar-benar tidak diduga.

☆☆☆

Hahaha, udah ah, capek nulis paragraf pengantarnya pakai kalimat yang gaya bahasanya ala novel picisan (walaupun masih berantakan XD). Jadi, sehari setelah libur musim dingin dimulai, aku dan sahabatku, Lia, pulang bersama ke Indonesia. Karena naik pesawat pukul satu dini hari, aku san Lia harus berjuang untuk membawa koper dan barang bawaan lainnya di tengah udara dingin bersuhu kurang dari sepuluh derajat celcius menuju bandara. Malam sekitar pukul setengah delapan, perjalanan kami dimulai. Kami berjalan menuju stasiun terdekat, menaiki kereta commuter, lalu ganti kereta sekitar tiga kali, naik-turun stasiun dengan menggunakan elevator (karena membawa koper yang ‘cukup’ berat), dan terakhir, menaiki monorail yang langsung terhubung dengan bandara internasional kedua di Tokyo, bandara Haneda. Dinginnya malam dan perjuangan menuju bandara kalah oleh kerinduan kami akan keluarga tercinta di tanah air. Pikiran hanya terpusat pada satu tujuan: rumah. ‘Sayangnya’, ketika aku sampai di Indonesia pada pukul tujuh keesokan harinya, aku tidak bisa langsung pulang ke kota kelahiranku, Bandung. Aku harus terlebih dahulu singgah beberapa hari di Bogor. Perkiraanku mengenai keefektifan waktu, ditambah lagi aku yang tidak dijemput kedatangannya oleh kedua orang tuaku yang tidak bisa meninggalkan kerjaan, mengharuskanku untuk melanjutkan perjalanan sendiri ke Bogor. Setelah menempuh hanya sekitar dua jam perjalanan dengan menaiki bus Damri dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta, aku sampai di depan Botani Square. Padahal ‘baru’ sekitar sembilan bulan aku pergi meninggalkan kota hujan ini, tapi rasanya aku lupa-lupa ingat mengenai angkot mana yang harus aku tumpangi untuk menuju IPB Darmaga. Ya, aku akan menginap di tempat teman-temanku yang merupakan mahasiswi IPB.  Bogor ternyata masih tetap sama. Masih dengan angkot-angkotnya yang tumpah ruang di jalanan dan ‘hangat’-nya yang menyengat. Mungkin yang berbeda adalah, teman-temanku di IPB yang terus tumbuh, yang sekarang sudah menginjak tingkat dua.

Singkat cerita, empat hari aku habiskan di sana untuk berjumpa kerabat, bernostalgia, dan... memastikan perasaan (lho?!). Selama di sana, tiga hari berturut-turut aku menginap di tempat yang berbeda. Dan... sejujurnya hal itu memberikan dampak yang luar biasa bagiku. Aku ikut menginap di tempat orang-orang yang kupercaya, dan aku rasa aku mendapatkan berbagai pelajaran berharga dari pengalaman ini. Entah itu pembelajaran dari teman-temanku sendiri, atau bahkan dari lingkungan tempat tinggal mereka. Membuatku jadi berpikir akan berbagai hal, yang sayangnya tidak bisa aku ceritakan di sini. Satu hal yang pasti, aku sangat sangat bersyukur mendapat kesempatan seperti ini oleh Allah, dan aku juga sangat berterima kasih kepada mereka. ‘Pulang’ kembali ke Bogor juga membuatku merasa, ternyata masih ada orang-orang yang mengingatku, bahawa aku pernah jadi bagian dari mereka dan menjalani kehidupan bersama, juga membuatku kembali mencicipi hempasan bayangan dari masa lalu. Yang jelas, apa yang terefleksikan saat itu sangat berharga bagi diriku ke depannya, insya Allah :)

Empat hari yang singkat, sangat mengesankan namun juga memilukan (karena aku juga sudah membuat tangisan kepada salah seorang sahabat baikku. Maaf yaaa, insya Allah ketika aku pulang nanti kita harus berlama-lama ketemu! (T_T)), aku ‘akhirnya’ dijemput juga oleh kedua orang tua tercinta. Tujuan selanjutnya yang sudah lama ditunggu-tunggu: Bandung! Aku dan kedua orang tuaku sama sekali tidak memberitahukan perihal kepulanganku ini kepada keluarga juga sepupu, ingin membuat surprise ceritanya :) Malam itu, ketika aku sampai di rumah embah, kebetulan anggota keluarga lainnya juga sedang berkumpul. Dan pasti terbayangnya kan apa yang terjadi selanjutnya? Ya, gegaduhan muncul ketika aku datang. Alhamdulillah anggota keluarga senantiasa sehat walafiat, terutama sepuh yang paling ingin aku temui, embah putri :) Aku pun keesokan harinya menemui orang yang membuatku ‘terpaksa’ menggoyahkan keyakinan awal lalu kembali ke Indonesia. Dialah si “pecepam”, sepupu kecilku. Walaupun sikapnya padaku masih dingin karena ‘belum’ kenal, tapi setelah melakukan pendekatan selama tiga hari, akhirnya aku berhasil dekat dengannya  (^o^)

Alhamdulillah kepulangan pertamaku ke tanah air setelah menimba ilmu beberapa bulan di Jepang meninggalkan kesan yang sangat membahagiakan. Bisa kembali bertemu dengan keluarga, teman dekat, guru-guru SMA, dan beberapa adik kelas. Mohon maaf bagi teman-teman yang belum bisa bertemu, atau bahkan yang tidak aku beri tahu mengenai kepulanganku. Sebab aku berada di Bandung juga tidak lama, dan ketika itu sepertinya bertepatan dengan kalian yang sedang persiapan menjelang UAS. Sampai saat ini aku datang dan pergi ketika kalian menjelang atau sedang ujian :( Semoga di waktu yang akan datang, kita diberikan keluangan waktu sehingga dapat bertemu :)

Hari demi hari berlalu, dan tidak terasa waktu liburanku di Indonesia telah usai. Aku harus lekas kembali ke Jepang. Ibu sempat menangis ketika mengantarku ke bandara. Tentu saja, karena tidak akan pernah ada kata cukup untuk bertemu dan menghabiskan waktu dengan orang-orang tercinta. Kondisi cuaca yang beberapa hari itu sedang tidak baik semakin menambah rasa kekhawatiran dan berat hati bagi keluarga untuk melepasku. Begitu pula dengan aku yang harus berpisah kembali dengan mereka. Apalagi aku juga merasa telah meninggalkan sepotong hati yang ternyata masih belum bisa ‘diselesaikan’. Dengan menghempaskan berbagai perasaan itu dalam-dalam, aku dan Lia pun kembali ke Tokyo.

Ternyata ada sisi positif dan negatif dari menghabiskan liburan di tanah air. Di satu sisi, tentu senang bukan main dapat bertemu kembali lagi dengan orang-orang tercinta. Tapi di satu sisi... harus kembali menanggung sedih ketika berpisah dengan mereka. Yang paling ‘mengenaskan’, adalah ketika aku sudah sampai di kamar asrama. Sebuah gejala yang benar-benar baru pertama kali aku rasakan sejak menginjakan kaki kembali di negeri samurai: homesick. Baru kali ini aku merasakan sepi yang begitu menusuk, kekosongan yang begitu menghujam *alah. Aku harus menghadapi kesendirian lagi di kamar asrama. Ketika kehangatan keluarga sudah lenyap dan diganti dengan dinginnya udara awal tahun. Bahkan pengalaman pertamaku melihat indahnya salju yang turun tidak kunjung membuat hatiku sepenuhnya tenang. Jeda selama tiga hari di kamar sebelum masuk mulai ajaran baru tenyata cukup menyiksa batinku.
Tapi apa mau dikata. Teman-teman di sini yang lain pun pasti juga begitu. Apalagi Lia, yang sama-sama baru juga pulang ke tanah air denganku.

Walaupun kondisi saat itu (bahkan sampai sekarang sih sebenarnya hehe) bisa aku anggap mengenaskan, tapi di satu sisi yang lain ada setitik cahaya yang muncul manakala aku berpikir tentang resolusi di tahun baru ini. Sejak kepulanganku ke Indonesia, aku membuat beberapa rencana baru yang insya Allah aku usahakan untuk mencapainya. Alhamdulillah sepertinya kepulanganku yang pertama ini lebih banyak membawa banyak pelajaran dan manfaat bagiku pribadi.

Salah satunya, dulu aku sempat menulis sedang move on tentang sesuatu, dan saat itu aku yakin benar bahwa aku telah berhasil melakukannya. Tapi ternyata salah. Karena mungkin caraku juga salah. Jadi benar kata salah seorang novelis yang aku suka, Bang Tere Liye (hehe), dan kata salah seorang adik kelasku, bahwa semakin kita memaksakan untuk melupakan sesuatu, maka semakin sering pula kita akan mengingatnya. Kini, solusi dari masalahku adalah dengan menerimanya. Mungkin tidak akan lantas membuat jadi lupa (ga mungkin pernah bisa lupa malah), tapi dengan menerima, mengikhlaskan, dan yang paling penting adalah jujur kepada diri sendiri bahwa kita belum bisa move on, maka diri ini menjadi tenang dan positif, insya Allah. Aku yakin, memang semua kejadian itu ada pastilah untuk mendewasakan diri ini :)

Wah ini bahasannya jadi kemana-mana yah hahaha. Kalau begitu, terakhir aku ingin bahas mengenai nasib akademik masa depanku. Minggu pertama masuk lagi ke sekolah, kami dihadapkan pada tugas akhir berupa short essay (ini bukan skripsi alias T.A. lho ya). Bahkan bagi anak-anak IPS tidak hanya itu. Ada pula tugas laporan lainnya pada mata pelajaran ekonomi-politik (lagi-lagi matpel ini (-__-)”).  Tapi kabar lainnya, keputusan mengenai hasil universitas sudah ada! Dari pihak monbusho, alhamdulillah aku sudah ditetapkan untuk mengikuti tes ujian masuk ke univ pilihan pertamaku. Tapi berhubung univ pilihan pertamaku mulai tahun ini tidak akan mengadakan lagi ujian masuk bagi mahasiswa asing, jadi kami hanya perlu untuk mengumpulkan satu lembar formulir saja. Walau begitu, bukan berarti aku sudah benar-benar diterima di univ ini lho. Masih ada penguman akhirnya pada tanggal 12 Februari mendatang. Semuanya, mohon doanya ya...!
Bismillaahirrohmaanirrohiim, hasil keputusan univ, resolusi baru, short essay + presentasinya, semoga berjalan dengan lancar sesuai harapan, aamiin!!!

Oh iyaaa, satu lagi! Kouhai (adik kelas) yang mulai April 2015 ini akan belajar di tempatku sekarang (TUFS) hanya ada duaaa! Hmmmm, nanti bakal ada penyambutan ga ya dari para senpai (kakak kelas) yang jumlahnya bejibun ini?? Hehe lihat saja nanti ya kalau begitu, setelah para senpai sudah selesai mengurus univ mereka :D

GANBAROU~ \(>_<)/

Penghujung 2014



Bismillaahirrohmaanirrohiim...

Ternyata sudah dua bulan berlalu sejak aku menulis post terakhir. Saking sudah lamanya, sampai-sampai aku harus membaca kembali isi postingan sebelumnya untuk menulis post baru ini hehe… Mungkin post kali ini adalah yang paling gaje, karena intinya yang terjadi selama dua bulan ini adalah: sekolah, sekolah, dan sekolah. Dan hal apa yang terbayang begitu mendengar kata sekolah? Belajar, PR, ujian. Ya, hari-hariku hanya dijejali oleh tiga hal itu. Oleh karena itu, sebenarnya tidak ada lagi yang bisa aku tuliskan. Lagipula, aku rasa aku tidak pandai mengungkapkan sesuatu secara spesifik, hanya garis besarnya saja. Hanya saja… mungkin aku bisa ceritakan isi pikiran dan hatiku (*uhuk) akhir-akhir ini dari beberapa kejadian yang aku ingat.

Pertama, kelas Bahasa Jepang. Rupanya penyakit “pesimis” yang kuceritakan di post lalu tidak sepenuhnya hilang. Apalagi ditambah dengan kondisi akademik anak-anak kelas & mata pelajaran yang kian melesat. Soal ini aku tidak ingin bercerita banyak, tapi karena ‘sepertinya’ aku sudah bisa mulai menerima kenyataan, beban hati dan pikiranku berkurang dibandingkan sebelumnya. Atau lebih tepatnya, aku paksakan diriku untuk tidak menyakiti diriku sendiri dengan pikiran-pikiran negatif.

Kedua, proses masuk universitas. Baru saja siang ini aku menyerahkan berkas pendaftaran universitas. Proses pengurusan ini berawal dari bulan Oktober. Sekolah mengadakan penjelasan lalu mendatangkan beberapa kakak kelas untuk mengadakan tanya jawab. Aku sampai awal November masih bingung dengan pilihan universitas. Jadi, walaupun kami diberi kesempatan untuk memilih sampai dengan lima universitas, namun tentu saja, yang harus lebih diperhatikan adalah pilihan kesatu sampai dengan ke tiga. Hanya saja yang membuatku galau, adalah universitas pilihan kesatu dengan kedua. Terlalu banyak hal yang masuk ke dalam pertimbanganku. Dan kegalauanku pun berakhir setelah mencoba berpikir dan mengingat kembali, apa tujuan aku datang ke Jepang. Untuk belajar. Sebisa mungkin, aku harus bisa mempelajari apa yang ingin aku pelajari. Begini, walaupun aku pilih jurusan b. Jepang, namun ternyata di dalam jurusan b. Jepang sendiri pun terbagi lagi ke dalam beberapa kategori dan aku HARUS bisa menentukan SEJAK SEKARANG kategori mana yang ingin aku pelajari, yang ingin aku teliti lebih dalam nantinya, dan yang ingin aku jadikan sebagai bahan skripsi. Ini nih, bedanya menentukan jurusan dan univ antara di Jepang dengan di tanah air. Entah untuk kasus siswa yang bukan monbusho bagaimana, tapi di sini, kami harus menentukan hal-hal yang tadi aku bilang itu sejak dini. Harus berpikir jauh ke depan. Sebenarnya memang bisa kita pikir-pikir lagi apa yang benar-benar ingin kita kuasai begitu sudah masuk ke universitas, namun hal itu sangat riskan. Karena kalau sudah masuk ke suatu jurusan lalu ternyata ingin ganti jurusan, 'paling' bisa pindah hanya ke jurusan yang satu fakultas, dan bahkan tidak semua universitas memperbolehkan pergantian jurusan. Aku rasa saat-saat mencari jati diri itu memang salah satu yang paling tidak mudah. Saat-saat kita harus tahu, apa yang sebenarnya kita cari? Di mana passion kita yang sesungguhnya? Jujur, pikiranku yang jadi kacau balau akibat hal seperti ini benar-benar di luar dugaanku. Padahal aku rasa b. Jepang saja sudah spesifik, tapi ternyata harus dicari lagi, tepatnya di bagian mana yang ingin kita pelajari. Kalau hanya sekadar pembagian bahasa ke dalam ktegori linguistik, sastra, dll aku tahu. Tapi aku dituntut di sini untuk mencari tahu lebih dalam lagi mengenai itu, bahkan sebelum masuk univ. Atau lebih tepatnya, justru karena mau masuk univ aku harus tahu akan hal itu, harus mencari tahu apa yang benar-benar ingin aku pelajari. Contohnnya, kalau ingin lebih ke liguistik, kan ada materi tentang pronounciation, struktur kalimat, persamaan kata, dll. Nah dari beberapa hal itu lebih tepatnya materi yang mana yang ingin aku pelajari kelak? Di luar dugaan banget kan? Spesifik banget... :(

Setelah mencari tahu sana-sini dengan berbagai cara, akhirnya kutetapkan apa yang ingin kupelajari. Tapi tidak selesai sampai di situ. Kami juga disuruh mencari sendiri profil-profil universitas dan staf pengajarnya, kira-kira di univ mana materi yang ingin kita pelajari itu ada? Di univ mana ada dosen yang keahlian bidangnya sesuai dengan minat kita? Dan proses ini sangat amat panjang... Mencari, dan terus mencari tahu. Mungkin ini kegiatan paling dominan dalam satu bulan ini. Dan aku rasa, pengalaman dua bulan ini adalah yang paling membuatku galau seumur hidupku sampai saat ini. Bahkan ketika SMA pun, ketika memilih jurusan dan universitas, tidak ada rasa ragu dan bingung pun sama sekali (alhamdulillah saat itu aku dilancarkan). Setelah semua proses aku jalani, alhamdulillah aku dapat menentukan pilihan univ dan bidang yang ingin aku pelajari. Insya Allah pengumuman diterima atau tidaknya di univ diumumkan pada tanggal 5 Januari 2015. Ada beberapa univ yang memerlukan ujian tulis dan / atau ujian wawancara lagi selain meminta hasil nilai akumulasi semua mata pelajaran dari lembaga b. Jepang tempat aku sekarang belajar. Tapi pilihan univ pertamaku tidak mengadakan ujian apa-apa lagi. Bismillah, semoga bisa diterima di pilihan pertama, aamiin!!

Ketiga, momiji! Pohon (daun) yang identik dengan musim gugur. Daunnya berbentuk menjari dan warnanya yang merah cerah terlihat sangat indah memikat. Musim gugur pertamaku ini dipenuhi kenangan akan ‘momijigari’ alias ‘hunting momiji’, pergi ke tempat di mana terdapat momiji yang indah. Kali ini aku ke dua tempat, yaitu Gunung Takao dan Gunung Mitake. Gunung Takao sangat terkenal sebagai tempat momijigari. Bahkan ketika aku ke sana dengan grup PMIJ (Pelajar Muslim Indonesia-Jepang) pun, ketika mau turun gunung menaiki gondola harus antre sampai satu jam saking banyaknya orang yang datang ke sana. Pendakain ke Gunung Takao adalah pendakian keduaku setelah ke Gunung Fuji. Karena tinggi Gunung Takao jauh lebih rendah dari Gunung Fuji, tentu saja tracknya pun bisa dikatakan sangat mudah (soalnya super banget sih waktu itu yang Gunung Fuji). Di puncak, selain terlihat pemandangan Gunung Fuji, momijinya ternyata juga indah, walau sayangnya hanya sedikit. Sementara itu, di Gunung Mitake aku tidak naik ke puncak, hanya berjalan-jalan di kaki gunung, namun di pinggir-pinggir sungai terdapat banyak sekali momiji yang indah. Syukurlah aku berkesempatan melihat momiji pertamaku.

Momiji :)



Pemandangan di puncak Gunung Takao. Terlihat pula Gunung Fuji :D


Pinggir sungai di kaki Gunung Mitake

Keempat, pengalaman dengan keluarga angkatku di sini. Jadi secara garis besar, aku memiliki tiga keluarga angkat (host family) di sini. Pertama, keluarga yang paling dekat di antara kedua keluarga lainnya. Mereka bertempat tinggal di Oosaka, dan merupakan keluarga pertamaku di Jepang. Sudah banyak pengalaman dan kenangan yang aku buat bersama mereka, benar-benar seperti keluarga kedua setelah keluarga asli di Indo. Kalau tidak salah, aku sempat menceritakan sedikit mengenai keluargaku yang ini di blog. Kedua, adalah okaa-san (ibu) dan otou-san (bapak) dari sebuah lembaga bernama YWCA. Mereka bisa dibilang juga sebagai orang tuaku di Tokyo. Hubungan kami cukup dekat, namun karena hanya bertemu beberapa kali saja dan aku juga belum pernah menginap di rumahnya, jadi tidak sedekat keluarga pertama. Tapi, mereka akan selalu 'bertugas' sebagai orang tuaku selama aku bertempat tingglal di Tokyo. Terakhir, adalah okaa-san yang aku kenal dan aku singgahi rumahnya ketika homestay di Chiba libur musim panas lalu. Mengenai okaa-san yang satu ini, aku juga pernah menceritakannya di blog. Beliau adalah ibu dari seorang mahasiswa di TUFS.

Singkat cerita, TUFS memiliki agenda penting setiap tahunnya, semacam pensi bernama 'Gaigosai'. Tahun ini Gaigosai diadakan selama empat hari. Okaa-san yang di Chiba sudah menghubungiku dari jauh-jauh hari untuk bertemu denganku ketika Gaigosai. Selain itu, otou-san Chiba yang belum pernah aku temui nampaknya juga akan ikut datang. Akhirnya kami pun sepakat untuk bertemu pada hari ketiga Gaigosai yaitu pada hari Minggu. Hari Jumat, aku lupa memberitahu okaa-san dan otou-san YWCA mengenai Gaigosai. Oleh karena itu aku buru-buru memberitahu lewat email, barangkali mereka juga bisa datang. Ketika chatting, ternyata beliau bilang bisa datang, namun pada hari Minggu. Duh gawat, pikirku. Aku bilang ke okaa-san YWCA bahwa aku juga sudah ada janji untuk bertemu okaa-san Chiba pada Minggu siang. Tapi karena okaa-san YWCA juga hanya bisa datang hari Minggu, beliau bilang tidak apa-apa, asal bisa bertemu denganku walau hanya sebentar. Singkat cerita, sari Minggu pun tiba. Siangnya aku menghabiskan waktu makan siang sebentar dengan okaa-san dan otou-san Chiba. Karena okaa-san dan otousan YWCA juga sudah sampai di TUFS dan mereka juga ingin bertemu denganku, aku pun menceritakan situasiku saat itu kepada okaa-san Chiba. Karena kami sudah lama tidak bertemu, aku jadi agak berat hati juga ketika disuruh okaa-san Chiba untuk pergi meninggalkannya dan menemani okaa-san YWCA. Tapi sebenarnya dibandingkan hal itu, aku lebih merasa bersalah karena aku tidak bisa mengobrol banyak dengan okaa-san Chiba. Padahal beliau yang lebih dulu membuat janji denganku, dan beliau juga datang ke sini untuk bertemu denganku. Kali itu aku benar-benar merasa bersalah karena harus bertemu dua pihak yang berbeda dalam waktu bersamaan. Ketika aku bertemu okaa-san dan otousan YWCA, tahunya mereka bilang ingin juga bertemu dengan keluargaku yang di Chiba. Akhirnya kami balik ke tempat keluarga Chiba, dan mereka saling berkenalan. Mungkin agak berlebihan sih, tapi jujur saat itu aku merasa bahagia seperti dibawa terbang ke awang-awang, seakan-akan aku bukan hanya 'milik' keluargaku di Indonesia *hehe. Di satu sisi merasa bersalah, tapi di satu sisi juga sangat bahagia, karena dapat mempertemukan kedua orang tua angkatku. Salah satu momen tak terlupakan akhir-akhir ini hehe... Dan akhirnya sampai sore aku habiskan waktu berjalan-jalan di sekitar TUFS dan berbincang tentang banyak hal dengan keluarga YWCA :)



Gaigosai: Panggung


Gaigosai: Stand-stand makanan


Gaigosai: di dalam gedung kampus

Keadaan Gaigosai (*_*)

Kelima, UAS. Seperti pada ujian sebelumnya, aku paling mengkhawatirkan mata pelajaran politik-ekonomi. Ditambah lagi hasil UTS lalu yang tidak memuaskan, menuntutku untuk dapat nilai  tinggi di UAS ini jika tidak ingin ikut ujian ulang. Tapi sayangnya, entah syetan apa yang merasukiku, UAS kali ini aku merasa maleeeeeesss banget! Tidak seperti belajarku ketika UTS. Pelajaran apapun itu, aku cenderung tidak terlalu mempersiapkannya (tidak boleh dicontoh ya). Belajar dicicil sedikit-sedikit sih sudah, tapi... rasanya tidak serius sampai 100%. Lalu bagaimana hasilnya? ... Hmmm sepertinya tidak perlu aku umumkan di sini hehe. Birakan itu jadi rahasia perusahaan, haha... *lho?!

Terakhir, liqo (mentoring). Aku alhamdulillah ikut juga kegiatan mentoring di sini, walaupun dua minggu sekali. Sebenarnya program ini dimulai sejak aku awal-awal datang ke Jepang, namun baru mulai rutin setelah bulan Ramadhan. Dalam kasusuku, anggotanya dicampur, dari anak-anak S1, D3, dan D2. Walau begitu, anggota grupku tidak begitu banyak karena sayangnya tidak semua muslim ikutan. Semoga yang belum ikut bisa segera ikut juga, aamiin!! Sampai sekitar awal November lalu, aku berpikir begini, “Untuk menentukan univ yang ingin aku masuki, di mana pun  itu tak masalah asal sesuai dengan keinginanku dari sisi akademik. Ke mana pun aku harus pindah asalkan untuk menuntut ilmu, sama sekali tidak apa-apa. Bahkan ke tempat yang sama sekali tidak ada orang Indonesianya pun tak apa”. Ya tak apa, tapi itu dulu. Sekarang, liqo sudah menjadi salah satu faktorku dalam menentukan univ dan tempat aku tinggal. Pilihan pertama univku aku tentukan di Tokyo, agar aku masih bisa ikut grup liqo yang sekarang. Selain itu, agar aku juga mudah untuk mencari teman-teman Indo lainnya yang muslim. Sebenarnya, grup liqo itu tidak harus dengan sesama orang Indo, ya aku tahu betul itu. Tapi ada beberapa pertimbangan yang membuatku sulit untuk jauh-jauh sama grup liqo yang sekarang. Alasan paling utama karena sudah nyaman juga sih... Dengan teman-temannya, murobbinya juga. Walau cepat atau lambat, tahun 2015 ini akan ada beberapa orang yang terpaksa harus keluar grup. Mereka adalah anak-anak D3 yang sekolah kejuruannya telah ditentukan oleh pihak Monbusho. Mereka disebar, ada yang di Sendai, Nagano, sampai yang sulit dijangkau seperti Kyuushuu. Tapi ada juga yang ditempatkan di sekitar Tokyo. Nah aku sendiri? Aku juga sebenarnya masih belum pasti apakah masih ada di Tokyo tahun ajaran depan atau tidak, karena pengumuman univ baru akan diumumkan awal tahun 2015. Tapi setidaknya, pilihan univku aku sesuaikan agar tidak jauh-jauh dengan grup liqo yangh sekarang. Liqo udah jadi bagian yang ga bisa dipisahin lagi dalam kehidupanku sekarang. Atau lebih tepatnya, aku tidak mau jauh-jauh sama perkumpulan muslim. Aku sekarang hidup di negara yang minoritas Islam. Jangankan di sini, di Indo pun yang mayoritas Islam, iman bisa naik turun. Selalu tidak stabil. Kalau bukan diri ini yang mendekatkan diri dengan kebaikan, terus siapa lagi yang bisa melakukannya? Siapa yang bisa mengingatkanku kalau aku sedang tidak karuan? Satu hal yang terus membekas di hati ketika sedang mentoring, waktu itu materinya tentang mensyukuri nikmat. Teteh (murobbi) bilang, kira-kira seperti ini, “Mungkin sebagian besar dari kita berpikir bahwa sekarang kita bisa belajar di Jepang adalah nikmat yang diberikan Allah SWT. Iya, mungkin bisa dibilangg nikmat, tapi bisa juga malah sebenarnya ujian dari Allah SWT. Itu semua ditentukan dari apakah kita semakin mendekat kepada Allah atau tidak dengan belajar di sini”. Kata-kata ini mungkin terdengar enteng, tapi bermakna sangat besar. Kemudian aku juga jadi teringat hal lain. Dulu aku pernah bilang ke seseorang, “... aku ingin berguna buat Indonesia”, lantas orang itu bilang, “jangan (cuma) buat Indonesia dong, tapi Islam”. HMMMMM... Alhamdulillah aku dipertemukan oleh orang-orang seperti mereka. Orang sepertiku harus banyak diingatkan. Semoga ke depannya, di manapun itu, aku bisa terus mempelajari agama Allah, mengamalkannya, dan kalau bisa mendakwahkannya juga, aamiin!! *curhat deh jadinya. Dan semoga, kita semua bisa selalu dikelilingi oleh orang-orang baik yang senantiasa mengingatkan dalam kebaikan, aamiin!!

Seiring dengan udara Tokyo yang semakin dingin, dimulailah libur musim dingin pertamaku. Di penghujung tahun ini, aku hanya bisa bisa berdoa semoga aku bisa diterima di univ pilihan pertama dan menjadi pribadi yang lebih baik lagi di tahun yang akan datang, aamiin!

GANBAROU~

Next: 2015: New Beginning